Beberapa hari yang lalu, saya membeli Pertamax di penjual BBM eceran. Biasanya saya membeli di SPBU, tetapi karena jarum penunjuk tanda sudah di strip warna merah dan khawatir kehabisan, maka saya membeli eceran.
Pada waktu saya membeli Pertamax, bersamaan dengan seorang bapak yang juga membeli ditempat yang sama. Beliau membeli tiga botol, karena kalau saya mengatakan tiga liter, pasti tiga botol itu tidak sampai tiga liter. Akhirnya dituangkanlah Pertamax itu ke tangki motor si bapak. Tetapi ketika sampai botol ke tiga, dan baru dituang setengahm tangki sudah penuh, sehingga hanya 2,5 botol yang dapat dituangkan ke tangki.
Selesai dilayani, maka si bapak memberikan sejumlah uang, sepengetahuan saya beliau menyerahkan 4 lembar uang pecahan 10.000 rupiah. Karena dirasa lebih, maka penjual berniat mengembalikan. “Mohon maaf bapak, ini uangnya lebih, bapak cukup membayar Rp. 25.000 saja, karena tadi hanya 2,5 botol yang saya tuangkan”. Si bapak menjawab, ” Tidak apa-apa, terima saja semuanya, lebihnya itu sebagai bonus, karena Anda sudah melayani dengan baik, ramah, sopan, dan menyenangkan”. Akhirnya penjual Pertamax pun menerima kelebihan itu, dan beliau berterima kasih kepada si bapak tadi.
Melihat drama percakapan si bapak dengan penjual Pertamax di depan mata tadi, saya merasa “tersindir”, kalau bahasa anak muda sekarang “merasa nyesek”, ada nasehat bijak yang saya dapatkan. Begitu mulianya si bapak ini, sehingga menggugah “nafsu” saya untuk berbincang dan belajar kepada beliau. Tetapi ada kegamangan, bagaimana caranya, kan saya tidak mengenal beliau, begitupun sebaliknya, beliau tidak mengenal saya.
Ketika saya sedang berpikir itu, kulihat si bapak sudah mengendarai motornya untuk melanjutkan perjalanannya. Tetapi, baru berjalan sekitar 50 meter, saya melihat beliau membelokkan arah kendaraannya ke sebuah masjid. Memang saat itu sudah mendekati waktu sholat dhuhur. Melihat si bapak menuju masjid, akhirnya saya juga berfikir untuk ke masjid, siapa menahu dapat berkenalan dan sekaligus berbincang-bincang sebentar dengan beliau. Saya menuju ke masjid dan sholat berjama’ah bersama yang lain.
Ketika selesai sholat, saya memberanikan diri untuk menyapa dan berkenalan dengan si bapak, sekaligus saya menyampaikan, bahwa saya sangat terkesan dengan apa yang baru saja dilakukan si bapak kepada penjual Pertamax. Tetapi si bapak hanya berkata, “itu hal yang biasa dan sederhana, panjenengan juga bisa melakukannya, bahkan hampir semua orang bisa melakukannya”. “Tetapi saya tetap ingin belajar langsung dari bapak, dan jika berkenan meluangkan sedikit waktu, sekarang saya siap untuk mendengarkan”. Entah karena memang beliau sedang longgar atau karena desakan saya, sehingga beliau bersedia untuk bercerita apa yang baru saja dilakukannya.
“Begini mas, yang saya lakukan tadi, hanyalah untuk menghargai, yaitu menghargai orang yang mau menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia. Penjual Pertamax itu secara ekonomi tergolong miskin, Dia sudah menjaga dirinya dari mencuri dan meminta-minta. Dia berjualan itu modalnya terbatas, tempat untuk berjualan itu juga atas belas kasihan yang memiliki tempat. Pokoknya semua dalam kondisi serba terbatas”. Mendengar cerita dari si bapak ini, saya semakin merasa “nyesek”.
Si bapak melanjutkan, “Orang-orang seperti ini layak mendapat penghargaan dari kita yang berlebih. Dengan laba yang tidak seberapa banyak, ada rizki untuk memenuhi kebutuhan keluargannya, untuk makan, biaya sekolah anaknya. Orang-orang seperti inilah yang seharusnya kita bantu dengan melarisi dagangannya. Walaupun jika kita hitung, pasti ada selisih lebih mahal jika kita membeli di SPBU. Tetapi, selisihnya toh tidak banyak. Yang tidak banyak itulah menjadi rizki yang halal bagi dia, bisa membantu menjaga martabat bagi dia, bisa membahagiakan dia, dan tentu akan lebih bermanfaat bagi dia. Apa sih artinya uang sepuluh ribu rupiah untuk panjenengan?
Saya semakin merasa malu, karena selama ini, hanya untuk membeli Pertamax 2 liter saja terlalu pelit dan penuh perhitungan. Saya harus ke SPBU yang jaraknya terkadang lebih dari satu kilometer. Padahal selisih yang tidak seberapa itulah yang menjadi kebahagiaan bagi sebagian saudara kita yang menjaga martabatnya.
Pelajaran hidup yang sungguh berharga dan bermakna bagi saya. Semoga saya tidak pelit lagi untuk berbagi kepada pedagang kecil yang labanya kecil, tetapi semangat menjaga harkat, martabat, dan harga dirinya sangat besar. Berbeda dengan para pelaku korupsi, pelaku manipulasi, “pengemis bersepatu” dan bersembunyi atas nama organisasi, yang mengerdilkan martabatnya dibalik nafsu yang merasukinya.
Ali Zamroni, S.Pd., M.Pd.
Kepala SMP Muhammadiyah 1 Kudus